1. Golongan Indonesia beragama Islam, berlaku Hukum Agama telah diakomodir oleh hukum adat.
2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya hukum Adat.
3. Bagi Orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijs Ordonantie Christen Indonesie (HOCI)
4. Bagi Orang Timur Asing, Cina dan WNI Keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan KUHPerdata (Burgelijk Wetboek/BW) dengan sedikit perubahan.
5. Bagi Orang Timur Asing lainnya dan WNI Keturunan Timur Asing lainnya berlaku Hukum Adat mereka.
6. Bagi Orang-orang Eropa dan WNI kuturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku KUHPerdata (Burgelijk Wetboek/BW).
Adanya perbedaan hukum yang berlaku untuk berbagai golongan penduduk tersebut terjadi sebagai akibat berlakunya 163 dan 131 Idische Staats (IS) yang membedakan penduduk Indonesia dalam tiga golongan penduduk:
a. Golongan Penduduk Eropa dan yang dipersamakan, untuk mereka berlaku Hukum Perdata Barat (Burgelijk Wetboek/BW)
b. Golongan Indonesia Asli (Bumi Putera), berlaku Hukum Adat
c. Golongan Timur Asing, masing-masing dengan hukumnya sendiri-sendiri
![]() |
Perkawinan |
Undang-Undang Perkawinan merupakan hasil usaha dalam menciptakan hukum nasional yang bertujuan mencapai unifikasi hukum dalam bidang hukum keluarga, akan tetapi bukan berarti pengesahannya berjalan mulus dan tidak ada kendala. Melihat pada sejarah pembuatannya, maka sebelum Undang-Undang Perkawinan ini dilaksanakan, RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR hasil Pemilu 1917 telah menarik pehatian, yang bukan saja dari para praktisi dan ahli hukum akan tetapi juga masyarakat luas terutama umat Islam.
Seluruh lapisan masyarakat pada masa itu terpanggil minatnya untuk memperhatikan RUU tersebut, karena mereka menganggap, materi di dalam RUUitu banyak bertentangan dengan ajaran Islam. Perlawanan terhadap RUU tersebut bermacam-macam, baik itu disampaikan melalui media masa maupun media dakwah. Setidaknya terdapat 14 Pasal RUU yang dinilai bertentangan denganhukum Islam. Salah satu contoh adanya pertentangan yang termuat dalam RUUPerkawinan dengan sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina. Termasuk pula dalam hal ini tentang definisi perkawinan, peluang poligami dan poliandri, tidak ada penegasan pembatasan poligami, pembatasan izin pengadilan kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang, jangka waktu istri pergi tanpa kabar, soal wali, larangan perkawinan karena hubungan pengangkatan anak, soal pembedaan agama dalam perkawinan, waktu tunggu (iddah), soal larangan kawin lagi bagi suami istri yang sudah bercerai untuk kedua kalinya, soal pertunangan dan putusnya perkawinan, termasuklah tentang rumusan anak, yang termuat dalam Pasal 49 RUU perkawinan pada masa itu.
Walaupun pada masa itu terdapat banyak perdebatan, akhirnya RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR, akhirnya disetujui, dan Pemerintah melalui Menteri Agama Prof. Mukti Ali dan Menteri Kehakiman Prof. Oemar Senoaji, S.H, telah merumuskan ketentuan Pasal-Pasal yang ada dalam RUU termasuklah di dalamnya tentang anak sah, sesuai dengan tuntutan zaman. Berkaitan dengan pengesahan RUU perkawinan yang sah menurut hukum.
Perkawinan menurut KUHPerdata adalah hubungan antara subyek-subyek yang mengikat diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan mengikat. Persetujuan dimaksud bukanlah persetujuan yang dimuat dalam KUHPerdata. Hal itu tercermin dalam Pasal 28 KUHPerdata yaitu Perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Perlu diingat pula bahwa dalam KUUHPerdata, sesuai dengan ketentuan Pasal 27 KUHPerdata, menganut asas monogami dalam perkawinan, yang mana hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya.
Monogami yang dimaksudkan adalah monogami mutlak. Hal demikian memberikan perlindungan hukum bagi istri atas persamaan hak antara suami, artinya suami tidak dapat melakukan poligami, dengan letak alasan kesalahan pada istri seperti halnya Undang-Undang Perkawinan.
Adapun Definisi Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut ini, yang Pengertian perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di sini berbeda dengan KUHPerdata yang hanya dipandang dari sudut hukum perdatanya yang terumus dalam Pasal 26 KUHPerdata, disebutkan bahwa: ”Undang-undang memandang saat perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata".
Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, didasarkan pada unsur agama/religius, hal itu sebagai yang diatur dalam Pasal l: ”Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Menurut definisi perkawinan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas, maka perkawinan itu tidak hanya suatu ikatan antara pribadi dua orang yang berbeda jenis kelaminnya, tetapi juga adalah suatu ikatan keagamaan. Arti keluarga di sini ialah suami-istri dan anak sebagai keluarga inti (nuclear family) dan arti rumah tangga ialah untuk pembentukan suatu tempat kediaman bersama. Bagi wanita perkawinan itu merupakan jalinan untuk mendapatkan tempat kediaman yang aman di samping jaminan keuangan/nafkah untuk hidupnya demi untuk dapat bahagia dengan suaminya. Pasal 1 ini juga menghendaki agar pembentukan keturunan ialah lewat perkawinan jadi melarang: kehamilan wanitasebelum perkawinan dan mencegah lahirnya anak-anak zina.
Berdasarkan uraian di atas diketahui beberapa prinsip dari Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya adalah:
a. Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
b. Tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan pada Pejabat pencatat perkawinan
c. Pada asasnya dianut monogami, dan poligami hanya dengan izin Pengadilan.
Demikianlah beberapa definisi perkawinan menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Terima kasih telah berkunjung.
0 Response to "Definisi Perkawinan"
Posting Komentar